Candi Cangkuang merupakan situs sejarah yang kurang dikenal di Jawa Barat, dan terdiri atas kompleks candi Hindu yang terletak di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Meski belum setenar Candi Borobudur atau Prambanan, Candi Cangkuang memiliki sejuta pesona dan makna sejarah yang patut untuk ditelusuri.
Dalam artikel ini, kita akan melihat sejarah, keunikan, dan kualitas budaya Candi Cangkuang, yang berdiri sebagai saksi bisu sejarah di Jawa Barat. Mari kita telusuri lebih dalam keindahan dan makna Candi Cangkuang yang masih terpelihara hingga saat ini. Simak kisah lengkapnya di bawah ini.
Candi Cangkuang merupakan situs sejarah di Wilayah Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Jarak menuju Candi Cangkuang sendiri sekitar 19 km jika dimulai dari pusat kota Garut. Pengunjung dapat mengunjungi Candi Cangkuang dengan kendaraan yang memakan waktu sekitar 45 menit. Candi ini merupakan satu-satunya candi yang ada di Kabupaten Garut dan memiliki nilai sejarah yang tinggi karena sudah ada sejak zaman Kerajaan Pajajaran.
Candi Cangkuang terletak di tepi Danau Cangkuang yang dikenal sebagai danau terisolasi karena hanya terhubung dengan sungai kecil yang mengalir ke danau lainnya saat musim hujan tiba. Di sekitar Danau Cangkuang juga terdapat hutan konservasi yang menjaga keberadaan flora dan fauna asli daerah tersebut. Untuk sampai ke situs Candi Cangkuang pengunjung harus menyeberangi sungai dengan menggunakan rakit tradisional yang ditarik oleh tali yang dipegang oleh pengelola situs atau penduduk setempat. Perjalanan ini memakan waktu sekitar 15-20 menit, bergantung pada arus sungai yang cukup deras di beberapa bagian. Meski terlihat sepele, pengalaman menyeberangi sungai dengan menggunakan rakit menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang ingin mengunjungi Candi Cangkuang.
Setelah menyeberangi sungai, pengunjung akan sampai di sebuah desa kecil yang terletak di lereng gunung yang merupakan komplek Candi Cangkuang.
Candi Cangkuang berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7 x 4,7 meter, dengan tinggi 30 cm dan terbuat dari batu andesit serta batu bata merah. Candi ini dibangun oleh umat Hindu yang tinggal di daerah tersebut pada abad ke-8 Masehi. Candi Cangkuang dianggap sebagai salah satu situs religi Hindu tertua di Indonesia.
Sejarawan telah mengemukakan beberapa teori tentang tujuan pembangunan Candi Cangkuang. Berikut beberapa di antaranya:
Tempat Ibadah dan Pemujaan
Sejarawan telah mengemukakan beberapa teori tentang tujuan pembangunan Candi Cangkuang. Salah satu teori yang paling populer adalah bahwa Candi Cangkuang dibangun sebagai tempat ibadah dan tempat pemujaan. Hal ini didukung dengan bentuk arsitektur candi yang mengikuti gaya arsitektur Hindu pada masa itu, dan candi tersebut memiliki pelinggih atau tempat pemujaan.
Tempat Persinggahan Pedagang
Selain teori sebagai tempat ibadah, ada juga teori yang menghubungkan Candi Cangkuang dengan perdagangan di masa lampau. Sebagai candi tepi danau, Candi Cangkuang berfungsi sebagai tempat persinggahan sementara bagi para pedagang yang melewati daerah Garut pada saat itu. Teori ini didukung oleh artefak yang ditemukan di sekitar candi, seperti pecahan tembikar dan koin yang berasal dari masa Kerajaan Sunda.
Benteng Pertahanan
Klaim bahwa Candi Cangkuang dibangun sebagai benteng pertahanan juga cukup menarik untuk dibahas. Sejarah menceritakan bahwa dahulu daerah Garut sering diserang oleh musuh dari luar. Daerah ini terkenal dengan kekayaan alamnya seperti hasil pertanian, perkebunan teh, dan lain sebagainya yang menarik perhatian musuh untuk menaklukan daerah tersebut. Dalam kondisi seperti ini, bangunan dengan fungsi pertahanan menjadi sangat penting untuk melindungi manusia dan harta benda dari serangan musuh. Terletak di tengah hutan dan dikelilingi danau, menurut para sejarawan Candi Cangkuang merupakan benteng pertahanan yang sulit diakses dan strategis.
Namun, teori ini memiliki beberapa kelemahan. Pertama, bangunan candi biasanya tidak memiliki pertahanan yang memadai untuk melindungi dari serangan musuh. Kedua, tidak ada catatan tentang Candi Cangkuang sebagai benteng di masa lalu dalam sumber sejarah yang ada.
Tujuan dibangunnya Candi Cangkuang masih menjadi misteri hingga saat ini. Namun, keberadaan candi ini menjadi bukti sejarah yang penting dari zaman Hindu di Indonesia. Oleh karena itu, perlu adanya upaya pelestarian dan pemeliharaan terhadap Candi Cangkuang agar dapat terus dinikmati oleh generasi selanjutnya dan harus dilestarikan.
Fungsi, Toleransi dan Penetapan Sebagai Cagar Budaya
Di dalam candi terdapat arca Hindu Siwa. Ini adalah candi pertama yang dipugar untuk mengisi celah sejarah antara Pajajaran dan Purnawarman. Berdasarkan tingkat pelapukan batu dan kesederhanaan bentuk untaiannya, para ahli menduga bahwa Candi Cangkuang dibangun pada abad ke-8.
Selain pura, juga terdapat makam Muslim Embah Dalem Arief Muhammad, leluhur warga desa Cangkuang. Tidak hanya itu, kawasan ini juga memiliki cagar budaya berupa kampung adat Kampung Pulo. Jadi Anda bisa langsung mengunjungi tiga lokasi sekaligus dalam satu kali kunjungan ke kawasan Cangkuang. Selain itu, situs sejarah tersebut memiliki latar belakang yang berbeda sehingga menjadi simbol toleransi di wilayah Garut. Toleransi yang kuat juga tercermin dari aturan adat yang tetap digunakan bahkan setelah sebagian besar orang memeluk agama Islam. Hal ini dibuktikan dengan adanya tradisi, dimana setiap hari Rabu merupakan hari besar bagi masyarakat setempat. Ziarah ke makam Arief Muhammad juga dilarang pada hari Rabu. Pada hari Rabu hanya kegiatan keagamaan yang dilakukan.
Cagar budaya merupakan nilai budaya suatu bangsa yang sangat penting untuk dilestarikan dan dilindungi, karena cagar budaya merupakan kekayaan bangsa dan warisan leluhur. keindahannya dijaga dan dilestarikan untuk menyadarkan hidup manusia dan patriotik konsep cagar budaya yang diatur dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat 1 Bab I. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Republik Indonesia tentang Pelestarian Budaya, yaitu Cagar budaya adalah benda budaya berupa bangunan. Kawasan perlindungan cagar budaya, sarana cagar budaya, benda cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di dalam air yang keberadaannya harus dilestarikan karena nilai historisnya yang signifikan, melalui proses pengambilan keputusan melalui ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan.
Oleh karena itu, situs Candi Cangkuang harus dilindungi secara hukum karena memang demikian adanya ratusan tahun. Oleh karena itu, sesuai Monumenten Ordinantie (MO) 9131 staatblad 238, terutama di bagian 1, yang mengatakan bahwa setiap benda bergerak atau tidak bergerak. Benda yang perlu dilindungi adalah benda bergerak yang berumur minimal 50 tahun hukum sebagai benda cagar budaya. Candi Cangkuang yang diperkirakan dibangun pada abad ke-8 Masehi ini berbeda dengan candi pada umumnya.
Candi Jawa Timur dan Jawa Tengah, baik dari segi bahan maupun modelnya bangunan dan dekorasi. Candi Cangkuang tidak memiliki relief atau hiasan sedikitpun gambar yang digunakan untuk cerita, seperti bangunan candi Borobudur atau bulan sangkala/perdates seperti mihrab Masjid Agung Demak, sehingga candi Cangkuang sudah sangat tua sederhana dalam bentuk. Situs Cangkuang juga memiliki daya tarik tersendiri karena benda-benda yang ada di sekitar candi dapat dinikmati sebagai tempat wisata sejarah yang menarik seperti pemukiman adat Kampung Pulo yang berada di selatan Candi Cangkuang. Kampung Pulo sendiri merupakan bagian dari cagar budaya Desa Cangkuang yang masih satu kompleks dengan candi.
Kampung Pulo juga memiliki sejarah yang sangat menarik di mana desa ini merupakan tempat penyebaran agama Islam pertama kali di desa Cangkuang bahkan ada yang mengatakan bahwa penyebaran Islam pertama kali di Garut. Penyebaran Islam di sini dilakukan oleh seorang tokoh bernama Arif Muhammad atau biasa dikenal dengan Embah Dalem Arif Muhammad yang juga ikut berpartisipasi membangun peradaban di wilayah tersebut.
Penduduk asli Kampung Pulo bersifat turun-temurun asli darinya. Tokoh Arif Muhammad sendiri adalah panglima perang pribumi Kerajaan Mataram. Selama menjabat sebagai panglima, ia diberhentikan oleh Sultan Agung berperang melawan VOC di Batavia. Namun dalam pertempuran ini dia dikalahkan VOC dan pergi ke daerah Garut. Dia menetap di desa Cangkaung di Garut dan memutuskan untuk menyebarkan ajaran Islam di sana.
Sekarang menjadi makam Embah Dalem Arif Muhammad Kampung Pulo, dekat Candi Cangkuang, adalah sebuah desa kecil yang terdiri dari enam rumah dan enam anggota keluarga. Di Kamapung Pulo sudah menjadi aturan umum bahwa jumlah rumah dan kepala keluarga harus enam orang dalam penataan rumah, tiga rumah di kiri dan tiga seberang rumah di sebelah kanan juga ada satu bangunan di Kampung Pulo masjid sebagai tempat ibadah bagi warga Kampung Pulo. Karenanya rumah baris kedua tidak boleh ditambah atau dikurangi.
Jika anak itu sudah dewasa dan menikah, selambat-lambatnya dua minggu setelah pernikahan, seseorang harus meninggalkan rumah asalnya, keluar dari enam lingkungan rumah adat dan kembali ke asalnya jika tersedia keluarga meninggal dengan syarat harus anak perempuan dan ditentukan oleh pilihan keluarga lokal.
Sumber : kompasiana.com